PETIR: RAHMAT ATAU LAKNAT?



Manusia selalu merasa ngeri ketika mendengar kilat sambung-menyambung dan Guntur menggelegar. Sampai-sampai ada ungkapan sumpah, “Berani disambar geledek kalau gue bohong”. Orang Yunani menganggap petir dikuasai oleh dewa perang Mars. Orang kejawen percaya bahwa petir dipegang oleh Ki Ageng Selo, sehingga kalau terdengar kilat, mulut mereka komat-kamit berkata, “Slamet-slamet embah, putune wonten ngandap mriki”. Menurut kepercayaan primitive, petir diartikan dewa langit sedang murka.
Memang ada hadis Tirmidzi dalam Mustadrak dari Abdullah bin Amr r.a. bahwa Rasulullah SAW. Bila mendengar petir berdo’a, Allaahumma laa taqtulna bighadaabika, walaa tahlikna bi’adzaabika, wa’afina qabla dzaalika “Ya Allah, jangan Engkau bunuh kami karena murka-Mu, dan jangan Engkau musnahkan kami dengan azab-Mu, dan ampuni kami sebelum itu terjadi.”
Al Quran mengajarkan lebih mendalam lagi. Bukan hanya rasa takut, tetapi ada secercah harapan dalam petir. Kalau hanya ketakutan, itu perilaku orang kafir. Hanya orang kafir yang menutup telinganya karena takut mati mendengar suara petir. Sebaliknya, orang beriman mestinya menganggap petir adalah ayat-ayat, tanda-tanda kekuasaan Allah yang harus disingkap rahasianya. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar-Rum (30) ayat 24, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah ditampakkannya kepadamu petir yang menakutkan dan menimbulkan harapan.”
Petir adalah ayat Allah, dia haruslah diposisikan sebagai hal penting yang harus ditafakuri seluk-beluknya. Ahli tafsir hanya menyebutkan bahwa yang dimaksud harapan adalah harapan akan turunnya hujan. Rasanya terlalu sederhana. Segala hal yang disebutkan Allah dalam Al Quran pastilah mengandung isyarat bagi sesuatu yang lebih dalam.